Rabu, 31 Agustus 2011

IHTIYATH

Hikmah Jalan yang Berbeda Menuju Sholat 'Ied

Jangan sembarang lho ketika hendak menuju mushollah tanah lapang untuk sholat 'Ied, ikuti petunjuk Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam beriku ini.


Petunjuk Nabi Dalam Shalat ‘Ied

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menunaikan shalatnya di masjid kecuali sekali saja, yaitu karena hujan.
  2. Pada saat hari Raya ‘Idul Fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian terbaik (terindah).
  3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan kurma -dengan jumlah ganjil- sebelum pergi melaksanakan shalat ‘ied. Tetapi pada ‘Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru beliau memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
  4. Dianjurkan untuk mandi sebelum pada hari ‘ied sebelum ke tanah lapang, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu Umar yang dikenal semangat mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  5. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berjalan (menuju tanah lapang) sambil berjalan kaki. Beliau biasa membawa sebuah tombak kecil. Jika sampai di tanah lapang, beliau menancapkan tombak tersebut dan shalat menghadapnya (sebagai sutroh atau pembatas ketika shalat).
  6. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri (agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrinya) dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha (supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya).
  7. Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali setelah matahari terbit, lalu beliau bertakbir dari rumahnya hingga ke tanah lapang.
  8. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di tanah lapang langsung menunaikan shalat tanpa ada adzan dan iqomah. Tidak ada juga ucapan, ‘Ash Sholatul Jami’ah‘. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sahabatnya tidak menunaikan shalat sebelum (qobliyah) dan sesudah (ba’diyah) shalat ‘ied.
  9. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ‘ied dua raka’at terlebih dahulu kemudian berkhutbah. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut setelah Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Tidak disebutkan bacaan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa bacaan ketika itu adalah berisi pujian dan sanjungan kepada Allah ta’ala serta bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan pula bahwa Ibnu Umar (yang dikenal semangat dalam mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.
  10. Setelah bertakbir, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah dan surat “Qaf” pada raka’at pertama serta surat “Al-Qamar” pada raka’at kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-A’la” pada raka’at pertama dan “Al-Ghasyiyah” pada raka’at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku’ dilanjutkan takbir 5 kali pada raka’at kedua lalu membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.
  11. Setelah menunaikan shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
  12. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di tanah dan tidak ada mimbar ketika beliau berkhutbah.
  13. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memulai khutbahnya dengan ‘Alhamdulillah…‘ dan tidak terdapat dalam satu hadits pun yang menyebutkan beliau memulai khutbah ‘ied dengan bacaan takbir. Hanya saja dalam khutbahnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak bacaan takbir.
  14. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada jamaah untuk tidak mendengar khutbah.
  15. Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at untuk mencukupkan diri dengan shalat ‘ied saja dan tidak menghadiri shalat Jum’at.
  16. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang (dari shalat) ‘ied.
Pembahasan ini disarikan dari kitab Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah
***


Hikmah Jalan yang berbeda:

1. Supaya ke jalan tersebut jadi saksi baginya
2. Agar penghuni di ke2 jalan tersebut menjadi saksi,
3. Menampakkan syiar  Islam,
4. Membuat marah musuh Islam -sewot gitu lho-SI.,dll.
5. Mengurangi kepadatn di jalan jika cuma 1 jalan, sumber> Fathul Baari:II:473

Selasa, 30 Agustus 2011

ABU HANIFAH-1 (Ulama Yang Juga Tajir)

“Saya tidak pernah melihat seorang yang lebih berakal, lebih mulia dan lebih wara' dari Abu Hanifah.” (Yazid bin Harun)

Sekilas tentang kehidupannya

Abu Hanifah memiliki wajah bagus dan rupa nan elok serta ucapan yang fasih dan manis. Ia tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu pendek, selalu memakai pakaian yang bagus dan enak dipandang, demikian juga suka memakai minyak wangi, orang akan mengetahui Abu Hanifah dari bau harum minyak wanginya sebelum ia terlihat. Itulah an-Nu'man bin Tsabit bin al-Marzuban yang dikenal dengan nama Abu Hanifah, orang yang pertama kali menyingkap keutamaan dan keistimewaan yang ada dalam ilmu fiqih.

Abu Hanifah mendapati masa akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan awal masa pemerintahan Bani Abbas. Ia hidup di sebuah masa yang mana para penguasa sering menghadiahkan harta kepada orang-orang yang berjasa kepada negara, mereka sering mendapatkan harta yang sangat banyak tanpa mereka sadari.

Akan tetapi Abu Hanifah memuliakan ilmu dan dirinya dari hal demikian, ia bertekad untuk hidup dari hasil jerih payahnya sendiri, sebagaimana ia juga bertekad agar tangannya selalu di atas (selalu memberi).

Pada suatu waktu al-Manshur memanggil Abu Hanifah ke rumahnya, maka tatkala ia sampai, al-Manshur memberi salam penghormatan dan sambutan yang sangat hangat serta memuliakannya, kemudian duduk di dekat Abu Hanifah dan mulai bertanya tentang permasalahan-permasalahan duniawi dan ukhrowi.

Di saat Abu Hanifah hendak pamit, al-Manshur memberinya sebuah kantung yang berisi tiga puluh ribu dirham –meskipun diketahui bahwa al Manshur termasuk orang yang pelit- maka Abu Hanifah berkata kepadanya, “Wahai Amirul mu'minin, sesungguhnya aku adalah orang asing di Baghdad, aku tidak memiliki tempat untuk menyimpan uang sebanyak ini dan aku takut kalau nanti ia akan hilang, maka dari itu jika boleh aku minta tolong agar ia disimpankan di Baitul Mal sehingga jika aku membutuhkan aku akan mengambilnya.”

Kemudian al Manshur mengabulkan permintaannya. Akan tetapi setelah kejadian itu, Abu Hanifah tidak hidup lama. Ketika ajal menjemput, ditemukan di rumahnya harta titipan orang banyak yang jumlahnya melebihi tiga puluh ribu dirham, maka tatkala al Manshur mendengar akan hal itu ia berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, dia telah memperdayaiku. Ia telah menolak sesuatu pun dari pemberian kami.”

Yang demikian itu tidaklah aneh, karena Abu Hanifah meyakini bahwasanya tidaklah seseorang makan satu suap lebih suci dan lebih mulia dari hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu, kita mendapati bahwa sebagian hidupnya adalah untuk berniaga. Ia berdagang al-Khiz (tenunan dari sutera dan bulu) dan bermacam pakaian yang terbuat darinya. Ia berdagang pulang pergi dari kota ke kota yang berada di Iraq. Ia memiliki sebuah toko terkenal yang didatangi oleh banyak pengunjung karena mereka mendapati Abu Hanifah sebagai orang yang jujur dan amanah, di samping, mereka juga mendapatkan barang yang bagus di tokonya.

Dari perdagangannya tersebut Abu Hanifah diberi anugerah oleh Allah berupa kekayaan yang melimpah.

Jika sampai masa satu tahun dari perdagangannya ia menghitung seluruh laba dan kemudian mengambil dari laba tersebut apa yang mencukupinya, setelah itu sisanya ia belikan barang-barang kebutuhan bagi para Qari, ahli hadits, ulama fiqih dan para penuntut ilmu dan juga membelikan makanan dan pakaian bagi mereka. Kemudian setiap dari mereka diberi sejumlah uang seraya berkata, “Ini adalah laba dari barang dagangan kalian yang diberi oleh Allah melalui tanganku, Demi Allah aku tidaklah memberi kalian sedikitpun dari hartaku, akan tetapi ia adalah karunia dari Allah bagi kalian melalui tanganku. Tidaklah seseorang memiliki daya untuk mendapatkan rizki kecuali dari Allah.”

Kabar tentang kedermawanan Abu Hanifah telah tersebar di timur dan barat, khususnya di kalangan para sahabat dan teman dekatnya. Sebagai suatu contoh, pada suatu hari seorang temannya pergi ke tokonya dan berkata,
“Sesungguhnya aku membutuhkan pakaian dari bahan al-Khizz, wahai Abu Hanifah.”
Abu Hanifah bertanya,”Apa warnanya?”
Orang itu menjawab, “Begini dan begini.”
“Sabar dan tunggulah sampai aku mendapatkan pakaian tersebut,” kata Abu Hanifah.
Seminggu kemudian pakaian yang dipesan telah jadi, maka tatkala temannya itu melewati toko, Abu Hanifah memanggilnya dan berkata,
“Aku punya pakaian yang kamu pesan.”
Temannya merasa gembira dan bertanya kepada Abu Hanifah,
“Berapa aku harus membayar pegawaimu?”
“Satu dirham,” jawab Abu Hanifah.
Ia merasa heran dan bertanya lagi, “Cuma satu dirham?”
“Ya,” kata Abu Hanifah
Temannya berkata, “Wahai Abu Hanifah, engkau tidak sedang bergurau bukan?”

Abu Hanifah manjawab, “Aku tidaklah bergurau, karena aku telah membeli pakaian ini dan yang satunya lagi dengan harga dua puluh dinar emas plus satu dirham perak, kemudian aku menjual salah satunya dengan dua puluh dinar emas sehingga tersisa satu dirham. Dan aku tidak akan mengambil untung dari teman dekatku sendiri.”

Pada waktu yang lain ada seorang perempuan tua datang ke tokonya dan memesan sebuah baju dari bahan al-Khizz, tatkala Abu Hanifah memberikan baju pesanannya, perempuan tua tadi berkata, “Sungguh aku adalah seorang perempuan yang sudah tua dan aku tidak tahu harga barang sedangkan baju pesananku adalah amanah seseorang. Maka juallah baju itu dengan harga belinya kemudian tambahkan sedikit laba atasnya, karena sesungguhnya aku orang miskin.”

Abu Hanifah menjawab, “Sesungguhnya aku telah membeli dua jenis pakaian dengan satu akad (transaksi), kemudian aku jual salah satunya kurang empat dirham dari harga modal, maka ambillah pakaian itu dengan harga empat dirham itu dan aku tidak akan meminta laba darimu.”

Pada suatu hari, Abu Hanifah melihat baju yang sudah usang sedang dipakai oleh salah seorang teman dekatnya. Ketika orang-orang-orang telah pergi dan tidak ada seorangpun di tempat itu kecuali mereka berdua, Abu Hanifah berkata kepadanya, “Angkat sajadah ini dan ambillah apa yang ada di bawahnya.” Maka temannya mengangkat sajadah tersebut, tiba-tiba ia menemukan di bawahnya seribu dirham. Kemudian Abu Hanifah berkata, “Ambil dan perbaikilah kondisi dan penampilanmu.” Akan tetapi temannya kemudian berkata, “Sesungguhnya aku seorang yang mampu (berkecukupan) dan sungguh Allah telah memberiku nikmat-Nya sehingga aku tidak membutuhkan uang tersebut.”

Berkata Abu Hanifah, “Jika Allah telah memberimu nikmat, maka di mana bekas dan tanda nikmata-Nya itu? Tidakkah sampai kepadamu bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah suka melihat bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” Karena itu, seyogyanya kamu memperbaiki penampilanmu agar temanmu ini tidak sedih melihatnya.”

Kedermawanan Abu Hanifah dan kebaikannya kepada orang lain telah sampai pada taraf di mana bila ia memberikan nafkah kepada keluarganya, maka ia pun mengeluarkan jumlah yang sama untuk orang lain yang menghajatkannya. Dan jika ia memakai baju baru maka ia akan membelikan orang-orang miskin baju yang seharga dengan baju barunya. Jika dihidangkan makanan di hadapannya, maka ia akan mengambil dua kali lipat dari apa yang biasa ia makan kemudian ia berikan kepada orang fakir.

Di antara hal yang diriwayatkan darinya adalah janjinya yang tidak akan bersumpah atas nama Allah di sela-sela perkataannya kecuali ia akan bersedekah dengan satu dirham perak. Kemudian lama-kelamaan janji pada dirinya itu ditingkatkan menjadi satu dinar emas. Sehingga setiap ia bersumpah atas nama Allah maka ia akan bersedekah sebanyak satu dinar.

Hafsh bin Abdur Rahman merupakan relasi dagang Abu Hanifah dalam sebagian perniagaannya. Ia menyiapkan barang-barang dagangan berupa al-Khizz dan mengirimnya bersamanya (Hafsh) ke sebgian kota yang ada di Iraq. Pada suatu waktu beliau menyiapkan untuk dibawa Hafsh barang dagangan yang banyak dan memberi tahu kepadanya bahwa di antara barang-barang tersebut ada yang cacat, ia berkata, “Apabila kamu mau menjualnya maka terangkanlah kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang tersebut.”

Maka kemudian Hafsh menjual semua barang yang dititipkan dan ia lupa untuk memberi tahu sebagian barang yang ada cacatnya kepada para pembeli. Ia telah berupaya mngingat-ingat orang-orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, tetapi tidak berhasil. Maka tatkala Abu Hanifah tahu akan hal itu dan tidak mungkinnya mengenali orang-orang yang telah membeli barang yang cacat itu, hatinya tidak tenang sampai ia bersedekah dengan harga semua barang yang diperdagangkan oleh Hafsh.

Di samping semua sifat yang telah disebutkan di atas, ia juga seorang yang baik dalam bergaul dengan orang lain, teman dekatnya akan merasa bahagia bila bersamanya dan orang yang jauh darinya tidak akan merasa tersakiti bahkan musuhnya sekalipun. Salah seorang sahabatnya pernah berkata, aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai Abu Abdillah, betapa jauhnya Abu Hanifah dari sifat menggunjing, aku sama sekali tidak pernah mendengar ia berkata tentang kejelekan musuhnya.” Maka Abu Sufyan berkata, “Sesungguhnya Abu Hanifah sangat waras sekali sehingga tidak mungkin melakukan hal yang dapat menghapus kebaikan-kebaikannya.”

Abu Hanifah adalah orang yang pandai mengambil hati manusia dan berusaha keras untuk melanggengkan persahabatan dengan mereka. Seperti diketahui bahwasanya jika saja ada orang asing yang duduk di majlisnya tanpa ada maksud dan keperluan, maka jika orang itu hendak pergi ia bertanya kepadanya, apabila orang itu mempunyai kebutuhan maka ia akan membantunya dan apabila sakit ia akan menjenguknya sampai orang itu menjadi teman yang dekat dengannya.

Di samping yang telah disebutkan itu semau, ia juga adalah seorang yang banyak berpuasa dan bangun malam (untuk shalat), berteman dengan al-Qur'an serta beristighfar meminta ampunan Allah pada penghujung malam.
Dan di antara sebab ketekunannya dalam beribadah dan semangatnya adalah karena pada suatu waktu ia bertemu dengan sekelompok orang, lalu ia mendengar mereka berkata, “Sesungguhnya orang yang kamu lihat ini tidak pernah tidur malam.” Maka, begitu telinganya menangkap apa yang mereka katakan itu, berkatalah ia di dalam hati, “Sesungguhnya diriku di sisi manusia berbeda dengan apa yang aku lakukan di sisi Allah. Demi Allah, sejak saat ini tidak boleh ada lagi orang yang berkata tentangku apa yang tidak aku lakukan. Aku tidak akan tidur di malam hari hingga aku menjumpai Allah (wafat).”

Kemudian mulai hari itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan beribadah kepada Allah. Di saat malam telah menjelang dan punggung telah menuju ke peraduan (tenggelam dalam tidur), ia bangun malam lalu memakai pakaian yang paling bagus, merapikan jenggot, memakai minyak wangi dan berhias, kemudian menuju mihrabnya dan mulai menghidupkan malam dengan khusyu' beribadah kepada Allah, larut dalam membaca al-Qur'an atau berdoa menengadahkan tangannya kepada Allah dengan penuh ketundukan.

Bisa jadi, ia membaca al-Qur'an 30 juz dalam satu rakaat atau mungkin saja ia menghidupkan seluruh malamnya dengan satu ayat saja.

Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwasanya pada suatu malam, ia menghidupkan seluruh malam dengan mengulang-ulang firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya, “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (al-Qamar:46) Sembari menangis tersedu-sedu, sebuah tangisan yang mengiris hati.

Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang melakukan shalat Shubuh dengan wudhu shalat 'Isya selama empat puluh tahun, tidak pernah sekal pun ia meninggalkan kebiasaan itu. Demikian juga, ia dikenal sebagai orang yang menghatamkan al-Qur'an di satu tempat di mana ia meninggal sebanyak 7000 kali.

Jika membaca surat az-Zalzalah, tubuhnya gemetar dan hatinya dirundung rasa ketakutan dan serta-merta ia memegang jenggotnya seraya mulai melantunkan,
Wahai Dzat Yang membalas kebaikan dengan kebaikan walaupun hanya seberat dzarrah
Wahai Dzat Yang membalas kejelekan dengan kejelekan walaupun seberat dzarrah
Berilah perlindungan kepada hamba-Mu yang bernama an-Nu'man dari api neraka
Jauhkanlah antara dirinya dengan sesuatu yang dapat mendekatkannya dari neraka
Dan masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari sang pengasih


(SUMBER: Hayaah at-Taabi’iin karya Dr. Abdurrahman Ra`fat al-Basya, Jld.VI, h.127-144)

Khutbah Idul Fitri 1432 H: Ramadhan, Membangun Keshalihan Pribadi Menuju Keshalihan Sosial


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Allahu Akbar kabira wal hamdulillah katsira wasubhanallahi bukratan wa ashila
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menciptakan langit dan bumi serta makhluk yang ada di dalamnya..
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan manusia sebaik-baik makhluk
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, hidayah dan rahmat kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kesempatan dan kekuatan kepada hamba-hamba yang dikehendaki hingga pada detik ini, di hari yang fitri dan mulia dapat berkumpul di tempat  yang mulia ini.
Sungguh hanya pujian dan rasa syukur yang tidak terhingga hanya untuk Allah semata, berkat rahmat dan kasih sayang-Nya lah kita dapat melewati hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu yang utama.  Menunaikan amaliyah dan ibadah di bulan yang mulia, bahkan dengan penuh harap, kita dapat meraih malam Al-Qadar yang kemuliaannya sama dengan ibadah seribu bulan lamanya.
Rasanya berat meninggalkan bulan Ramadhan, ingin rasanya kita terus berada di bulan nan indah dan penuh berkah ini, namun waktu tetaplah waktu yang pasti berlalu, kini saatnya kita dan seluruh umat Islam di seluruh dunia merayakan kemenangannya. Gema takbir, tahlil dan tahmid pun berkumandang dimana-mana, umat Islam di seluruh jagad raya ini, bersatu padu melantunkan irama membesarkan Allah, memuji dan mensucikan-Nya, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan. Mengungkapkan syukur atas hidayah dan inayah Allah yang begitu besar karena telah berhasil mengikuti rentetan ibadah pada bulan Ramadhan sebagai jaminan untuk mendapatkan ganjaran dan ampunan Allah SWT dan kembali kepada fitrah. Allahumma lakalhamdu kama yanbagi lijalali wajhikal karimi wa azhimi sultanika.
Sesuai dengan perintah Allah SWT
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kalian sempurnakan bilangannya, mengagungkan Allah SWT atas petunjuk Allah dan hidayah-Nya agar setelah itu kalian menjadi orang yang bersyukur”. (Al-Baqarah:185)
Inilah saatnya kita ungkapkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah; syukur qalbi dengan mengakui nikmat-nikmat Allah, syukur qauli dengan melantunkan tahmid, tasbih dan takbir kepada Allah, serta syukur amali dengan menjadikan segala nikmatnya sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya, menunaikan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sehingga kelak dengan syukur tersebut Allah berkenan menambah dan menambah terus nikmat-Nya kepada kita dan menjadikan kita menjadi orang yang bertaqwa.
Allahu Akbar.. Allahu Akbar… Allahu Akbar walillahil hamdu
Ma a’syiral muslimin Rahimakumullah
Jamaah shalat Idul fitri yang dirahmati Allah SWT
Ramadhan boleh saja berlalu namun kesan dan pesannya harus tetap melekat dalam relung hati, nafas, gerak dan hidup setiap muslim. Bahwa Allah SWT tidak semata menjadikan Ramadhan sebagai bulan yang di dalamnya ada kewajiban puasa, shalat sunnah tarawih dan ibadah-ibadahnya lainnya. Namun juga ingin memberikan pelajaran berharga kepada hamba-hamba-Nya akan perasaan bahwa mereka sangat memerlukan dan membutuhkan ibadah, bukan sekedar taklif dan beban belaka. Manusia diperintah beribadah bukan untuk kemaslahatan Allah SWT namun untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Sejatinya amal ibadah yang kita tunaikan –baik yang wajib atau yang sunnah- tidak akan mampu menambah singgasana Allah, begitu pula sebaliknya, jika kita semua tidak mau tunduk dan tidak mau beribadah kepada Allah SWT tidak akan mampu mengurangi apalagi menjatuhkan singgasana Allah SWT.
Sebagaimana dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Dzar Al-Ghifari, bahwa Nabi saw bersabda, Allah SWT berfirman:
يَا عِبَادِي لَوْ أَنّ أَوّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ, وَإِنْسَكُمْ وَجِنّكُمْ. كَانُوا عَلَىَ أَتْقَىَ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ. مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً.  يَا عِبَادِي لَوْ أَنّ أَوّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ. وَإِنْسَكُمْ وَجِنّكُمْ. كَانُوا عَلَىَ أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ. مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً…. يَا عِبَادِي إِنّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ. ثُمّ أُوَفّيكُمْ إِيّاهَا. فَمَنْ وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللّهَ. وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنّ إِلاّ نَفْسَهُ
“Wahai hamba-Ku, sekiranya seluruh manusia dan jin dari awal hingga akhir bertaqwa seperti ketakwaan orang yang paling bertaqwa di antara kalian, maka semua itu tidak akan menambah kerajaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-Ku, sekiranya seluruh manusia dan jin dari awal hingga akhir durhaka seperti durhakanya orang yang paling durhaka di antara kalian, maka hal itu tidak akan mengurangi kerajaan-Ku sedikit pun…. Wahai hamba-Ku, semua itu hanyalah amal kalian yang Aku pelihara untuk kalian, kemudian Aku kembalikan kepada kalian. Barangsiapa yang menerima balasan yang baik, maka hendaklah ia memuji Allah, dan barangsiapa yang menerima selain itu, hendaklah ia tidak menyalahkan selain dirinya sendiri.”
Allahu Akbar.. Allahu Akbar… Allahu Akbar walillahil hamdu
Ma a’syiral muslimin Rahimakumullah
Jamaah shalat Idul fitri yang dirahmati Allah SWT
Selain itu bulan Ramadhan merupakan sarana pendidikan dan pembinaan yang luhur dan komprehensif; baik untuk  pembinaan ruhiyah (spiritual), jasadiyah  (jasmani), ijtima’iyah  (sosial),  khuluqiyah (akhlaq),  hadloriyah  (peradaban)  serta jihadiyah pada diri umat Islam.
Ibarat lembaga pendidikan, yang di dalamnya para pelajar digembleng, dididik dan dibina secara ketat, sehingga kelak setelah keluar dari lembaga tersebut menjadi pelajar mumpuni, berprestasi dan unggul serta berdaya guna. Ketika mereka dididik dengan materi yang baik, ditempa dengan pembinaan yang maksimal dan kurikulum yang jelas, maka kelak mereka menjadi sosok yang bukan saja memberikan maslahat untuk dirinya sendiri namun juga bermanfaat untuk keluarga, lingkungan, masyarakat dan negaranya.
Begitu pula dengan bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat kewajiban, sunnah tarawih, tilawatil Qur’an dan amaliyah lainnya, merupakan sarana penempaan dan pendidikan yang memiliki kurikulum langsung dari yang Maha Mulia, sehingga kelak ketika keluar dari madrasah Ramadhan menjadi sosok (pribadi) shalih dan muslih.
Seperti dalam kaidah Arab disebutkan
الصَّلاَحُ قَبْلَ الإِصْلاَحِ
Perbaiki diri sebelum perbaikan kepada yang lain
Atau menjadi pribadi
الصَّالِحُ وَالْمُصْلِح
baik secara individu dan sosial
Lahir sosok pribadi muslim yang mumpuni, yang memiliki syakhshiyah islamiyah mutakamilah mutawazinah (sosok pribadi Islami yang komprehensif dan seimbang) tidak hanya berjiwa bersih, berbadan sehat dan berakhlaq mulia, namun juga memberikan kebaikan kepada dirinya dan perbaikan kepada lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Demikianlah cara Allah memperbaiki suatu negeri, bangsa atau kaum, bukan Zat-Nya yang langsung mengubah negeri, bangsa atau kaum, namun dengan cara memberikan sarana perbaikan jiwa-jiwa secara personal terlebih dahulu. Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” (Ar-Ra’ad:11)
Bahwa untuk mencapai tingkat kualitas yang mulia (At-taqwa) tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, namun membutuhkan proses yang harus ditempuh oleh setiap mukmin, selain harus melandasi dengan keimanan, namun juga menempuh proses berat sehingga mampu memberikan output yang baik dan mulia. Begitulah ketika Allah menginginkan derajat taqwa yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya; landasannya iman, prosesnya ibadah puasa dan hasilnya taqwa.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Al-Baqarah:183)
Allahu Akbar.. Allahu Akbar… Allahu Akbar walillahil hamdu
Ma a’syiral muslimin Rahimakumullah
Jamaah shalat Idul fitri yang dirahmati Allah SWT
Kesalehan Pribadi
Hingga saat ini, kita belum sadar pada dasarnya kita masih berjalan pincang dengan ketakwaan dan keshalihan kita. Di satu sisi kita memiliki keshalihan personal yang tinggi pada Allah SWT sementara di sisi lain hak-hak sosial dalam diri kita masih sering kita acuhkan. Atau sebaliknya, keshalihan sosial berada pada prioritas tertinggi dalam kewajiban kita, sementara penyembahan terhadap Yang Maha Agung tidak kita laksanakan.
Padahal agama, pada dasarnya, diwahyukan untuk memberikan petunjuk dan sebagai way of life bagi manusia. Petunjuk tersebut tidak berlaku hanya untuk diri sendiri dalam konteks kesalehan personal, akan tetapi sebaliknya berlaku secara makro pada tataran kesalehan sosial dan personal. Jika kita tilik secara bijak antara kesalehan personal dengan kesalehan sosial, keduanya berjalan linier dan saling menyatu membentuk kehidupan yang seimbang bagi hubungan manusia baik secara vertical maupun horizontal.
Contohnya adalah bahwa fakta sosial yang kerap terjadi di lingkungan kita. Di antara kita banyak sekali yang telah menunaikan ibadah haji lebih dari satu kali karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih, akan tetapi ironinya kita masih belum memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Padahal, ibadah haji dan ibadah mahdhah lainnya pada dasarnya menjunjung tinggi kesadaran dan empati sosial. Seperti muamalat (hubungan sosial), munakahat (hukum keluarga), jinayat (pidana), Qadha (peradilan), dan imamah atau siyasah (politik).
Prinsip-prinsip beragama pada dasarnya mengarahkan pandangan pada kesalehan sosial dalam arti yang luas. Contoh sederhana yang dapat kita perhatikan adalah, ajaran Islam sangat menganjurkan untuk melaksanakan shalat berjamaah dibandingkan dengan shalat sendirian, 1 berbanding 27. Mengapa hal itu bisa terjadi? Dengan shalat berjamaah akan terbangun hubungan sosial yang harmonis, terciptanya solidaritas yang kuat, empati satu sama lain dan aspek-aspek sosial lainnya.
Ibadah puasa, juga mengajarkan kepada kita untuk memiliki sikap tenggang rasa, peduli, dan solidaritas tinggi yang merupakan tatanan dari kehidupan social bukan keshalihan pribadi belaka.
Sebaliknya agama obyektif lebih bermakna akhlakul karimah, yakni kontekstualisasi sikap dan perilaku kita pada tataran sosial dengan menyandarkan perilaku tersebut pada ajaran agama, salah satu contohnya adalah kejujuran. Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan pemeluknya untuk memiliki sikap tidak jujur. Ini merupakan bukti kontekstualisasi ajaran agama pada aspek perilaku manusia.
Agama subjektif dan obyektif sama halnya dengan konsep iman dan amal. Iman bersifat personal tetapi amal merupakan aplikasi iman dalam kehidupan sosial. Iman menjadi landasan perilaku baik dalam konteks hubungan vertikal (hablum minallah) maupun hubungan horizontal (hablum minannas wa hablum minal ’alam). Sementara yang dimaksud dengan agama simbolik adalah agama nisbi yang hadir karena tuntutan dari agama subjektif dan obyektif. Diibaratkan jika agama subjektif dan obyektif adalah ruh dan jiwa, maka agama simbolik adalah raganya
Kelihatannya terlalu idealis untuk menyeimbangkan antara kesalehan personal dan sosial. Akan tetapi kelihatannya tidak bijak jika kita tidak mencobanya dan menerapkannya dalam kehidupan manusia. Agama akan menjadi kering dengan hanya menitikberatkan pada pemahaman yang bersifat personal tanpa menghadirkan nilai-nilai sosial di dalamnya. Karena pada dasarnya agama memiliki peranan yang sangat vital dalam membina umat manusia. Agama tidak sekedar memiliki fungsi sebagai aturan kehidupan bagi manusia, sebaliknya agama memegang peranan yang bersifat universal.
Allahu Akbar.. Allahu Akbar… Allahu Akbar walillahil hamdu
Ma a’syiral muslimin Rahimakumullah
Jamaah shalat Idul fitri yang dirahmati Allah SWT
Ciri berkepribadian shalih adalah kejujuran
Ibadah puasa identik dengan pelatihan diri untuk bersikap jujur, karena puasa bukanlah ibadah raga namun ia merupakan ibadah hati, hanya mukmin yang  puasa dan Allah sajalah yang tahu bahwa dirinya sedang puasa.
Kejujuran adalah tanda bukti keimanan. Orang mukmin pasti jujur. Kalau tidak jujur, keimanannya sedang terserang penyakit kemunafikan. Pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apakah mungkin seorang mukmin itu kikir?” Rasul SAW  menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah mungkin seorang mukmin bersifat pengecut?” Rasul menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi, “Apakah mungkin seorang mukmin berdusta?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” (Imam Malik dalam kitab al Muwaththo’)
Dalam hadits lainnya Rasulullah saw bersabda: “Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga.” (Ahmad, Muslim, at-Turmuzi, Ibnu Hibban)
Kejujuranlah yang menjadikan Ka’b bin Malik mendapat ampunan langsung dari langit sebagaimana Allah jelaskan dalam surah at-Taubah dan akhirnya kita pun diperintah oleh Allah untuk mengikuti jejak mereka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah:119)
Kejujuranlah yang menyelamatkan bahtera kebahagiaan keluarga, masyarakat dan negara dan kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang Muslim dari siksa api neraka di kemudian hari.
Kejujuran adalah tiang agama, sendi akhlaq, dan pokok kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran, agama tidak lengkap, akhlaq tidak sempurna, dan seorang manusia tidak sempurna menjadi manusia. Di sinilah urgensinya kejujuran bagi kehidupan.
Rasulullah pernah bersabda, “Tetap berpegang eratlah pada kejujuran. Walau kamu seakan melihat kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di dalam kejujuran itu terdapat keselamatan.” (Abu Dunya)
Ada tiga tingkatan kejujuran:
  1. Kejujuran dalam ucapan, yaitu kesesuaian ucapan dengan realitas. (lihat ash-Shaff : 2 dan al-Ahzab: 70).
  2. Kejujuran dalam perbuatan, yaitu kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.
  3. Kejujuran dalam niat, yaitu kejujuran tingkat tinggi di mana ucapan dan perbuatan semuanya hanya untuk Allah SWT.
Seorang mukmin tidak cukup hanya jujur dalam ucapan dan perbuatan, tapi harus jujur dalam niat sehingga semua ucapannya, perbuatannya, kebijakannya, dan keputusannya harus didasarkan atas tujuan mencari mardlotillah.
Kejujuran inilah yang mendorong Umar bin Khattab memiliki tanggung jawab luar biasa dalam memerintah khilafah Islamiyah sehingga pernah berkata: “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Baghdad (padahal beliau berada di Madinah), pasti Umar akan ditanya kelak: “Mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?”
Bangsa yang tak henti-hentinya diterpa musibah dan krisis sangat membutuhkan manusia-manusia jujur, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun niat.
Sungguh bangsa Indonesia, umat Islam secara khusus sangat membutuhkan pribadi-pribadi yang jujur, baik sebagai rakyat maupun pemimpin, seorang pegawai maupun direktur, pedagang maupun pembeli, suami dan istri, ayah dan anak, keluarga, lingkungan dan dalam berbagai lini kehidupan lainnya.
Bahwa dengan kejujuranlah, hidup suatu bangsa akan menjadi tenteram, nyaman dan sejahtera, bahkan akan kokoh dan tegak berdiri sehingga jauh dari tipu daya dan curang, karena itulah Rasulullah saw mengingatkan: “Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga.”
Seorang pemimpin suatu negeri tentunya sangat dibutuhkan sikap kejujuran diri, sehingga dengan demikian dapat memberikan keadilan, kenyamanan dan ketenteraman hidup rakyatnya. Dan kejujuran bukanlah sekedar ucapan pemanis lidah, hanya sebuah keluhan belaka, dengan mengatakan di hadapan orang banyak “jujur saya katakan”, namun ia merupakan praktek nyata yang betul-betul kelihatan sehingga dapat dirasakan oleh orang lainnya.
Pejabat yang jujur, adalah dambaan umat, sehingga dengannya dapat memberikan kemaslahatan besar untuk rakyatnya, sekalipun dirundung masalah jujurlah, berikan keterangan sebenarnya, jangan disembunyikan.
Hakim yang jujur, adalah harapan semua pihak, sehingga dengan dapat mengeluarkan hokum yang adil, tidak memihak kepada  yang kuat atau punya uang. Bahkan nabi saw dengan keras bahwa hakim ada tiga; dua di neraka dan satu di surga.
Kita pun sebagai rakyat harus jujur, terutama dalam memilih seorang pemimpin masih banyak yang mudah dibuai oleh rayuan kata-kata dan harta yang sedikit, memilih pemimpin yang tidak kepribadiannya.
Akhirnya marilah kita mengaca diri, bahwa kita semua memerlukan pembenahan secara personal dan social, dan marilah kita jadikan bulan Ramadhan  yang telah kita lalui sebagai titik awal perbaikan diri menuju keshalihan diri dan social, membangun kehidupan yang baik menuju keshalihan social sehingga berbuah pada “baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur” (negeri  yang makmur, dan dinaungi ampunan Allah SWT)
Allahu Akbar.. Allahu Akbar… Allahu Akbar walillahil hamdu
Ma a’syiral muslimin Rahimakumullah
Jamaah shalat Idul fitri yang dirahmati Allah SWT
Marilah bersama-sama kita tengadahkan kedua tangan kita setinggi-tingginya, hadir jiwa dan raga kita kepada Allah, heningkan ruh dan pikiran kepada Maha Mulia, memohon kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Semoga kita semua yang hadir di sini dan umat Islam lainnya, senantiasa dinaungi rahmat dan maghfirah Allah.
Ya Allah, hari ini kami hadir di sini memenuhi panggilan-Mu menunaikan shalat sunnah, setelah selama sebulan penuh kami menunaikan kewajiban dan amaliyah di bulan Ramadhan
Ya Allah, masih banyak kewajiban dan ibadah yang belum kami tunaikan, oleh karena itu, kami memohon ampunan-Mu dan rahmat-Mu.
Ya Allah, jadikanlah ibadah puasa kami sebagai sarana penghapus dosa dan kesalahan kami, jadikanlah ia sebagai sarana perbaikan diri kami, keluarga dan umat kami
Berikanlah kekuatan kepada kami untuk senantiasa berbuat baik, bersikap jujur dalam berbagai kehidupan kami.
Anugerahkanlah kepada kami, jiwa-jiwa yang jujur; pemimpin  yang jujur, pejabat yang jujur, suami yang jujur, istri  yang jujur, anak yang jujur, guru yang jujur, siswa yang jujur, pedagang yang jujur dan pembeli jujur.
Ya Allah, terimalah ibadah kami, shalat kami, ruku’ dan sujud kami, puasa kami dan doa-doa kami.

Kembali ke Fithrah (KHUTBAH IDUL FITRI 1432 H)

ألله اكبر ألله اكبر ألله اكبر x 3 ألله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا أشهد أن لااله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه ومن تبعهم باحسان إلى يوم الدين.أما بعد : فيا ايها الحاضرون والحاضرات اتقوا الله فقد فاز المتقون ز واعلموا أن يومكم هذا يوم عظيم وعيد كريم قال الله تعالى اعوذ بالله من الشيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
 Jama`ah shalat `Ied yang berbahagia. Pertama sekali kami sampaikan ucapan selamat : تفبل الله منا ومنكم “Semoga Allah menerima amal ibadah dari kami dan dari Anda sekalian” dan من العائدين الفائزين المقبولين “Semoga Allah menjadikan kita sekalian orang-orang yang kembali ke fithrah yang berbahagia dan yang diterima amal ibadahnya.” Amien.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yang berbahagia!
Untuk kesekian kalinya, pagi ini kita berkesempatan melaksanakana `Iedul Fithri. `Iedul Fithri akan selalu berulang setiap tahun, karenanya mesti ada hikmah atau ajaran yang dapat ditangkap dari situ. Ajaran yang segera tertangkap dari `Iedul Fithri adalah ajaran agar kita kembali ke fithrah sebagai manusia, kembali ke asal kejadian manusia, siapa dia daan untk apa dia ada.
Yang pertama, fithrah manusia adalah makhluk yang diciptakan. Bukan karena kehendak kita, kita manusia ada. Bukan pula karena kehendak ibu bapa. Nyatanya, tidak sejak awal kita tahu bahwa kita adalah manausia. Tunggu sampai minimal tujuh tahun kita baru tahu bahwa kita adalah manusia. Nyatanya, banyak anak manusia yang tidak dikehendaki kehadirannya oleh orang tuanya, begitu lahir segera saja ia ditinggalkan begitu saja, atau, bahkan, sejak dalam kandungan orang tuaanya berusaha sebisa- bisa mungkin menghilangkannya. Sebaliknya, banyak orang tua yang begitu keras usahanya untuk menghadirkan anak , yang akan menjadi manusia, namun tak berhasil. Jadi sekali lagi, yang pertama harus disadari, manusia, ya kita-kita ini manusia, adalah makhluk, yang diciptakan.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yanag berbahagia.
Ada yang diiciptakaan mesti ada Yang Menciptakan, ada makhluk mesti ada Al-Khaaliq. Al-Khaliq menciptakan manusia pasti bukan iseng semata, atau main-main tanpa hikmah tanpa tujuan. Al-Khaaliq berfirman dalam Al-Mu`minun 116 :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu untuk main-main saja?
Dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” Tentu tidak, bukan? Dan tujuan diciptakannya manausia jelas-jelas dinyatakan Al-Khaaliq dalam Adz-Dzaariyaat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak meciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menghambakan diri ke padaKu.”
Jadi, setelah kita, manusia, mengakui sebagai makhluk, kita tidak boleh menga baikan tujuan diciptakannya oleh Al-Khaliq, yaitu mmenghambakan diri kepadaNya. Manusia yang tidak menghambakan diri kepada Al-Khaliq yang menciptakannya berarti ia adalah manusia yang tidak tahu atau tidak menyadari fithrahnya. Karena banyak manausia macam ini, Al-Khaaliq yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang secara berkala dan terus menerus memberikan peringatan agar manusia tidak kebablasan dalam ketidaktahuannya dan ketidaksadarannya. Dan peringatan itu adalah `Iedul Fithri.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yanag berbahagia.
Arti dasar dari “menghambakan diri” adalah menjadikan diri kita hamba dari Tuan kepada ssiapa kita menghambakan diri. Tuan yang hakiki bagi manusia adalah Allah, Al-Khaliq itu. Menghambakaan ddiri kepada Allah tidak hanya sekedar mengakui kita sebagai hambaNya. Menghambakan diri mestilah bertekad akan selalu patuh kepadaNya. Dengan kata lain, menghambakan diri kepada Allah adalah selalu patuh akan perintah dan laranganNya. Orang macam ini sering disebut “muttaqien” yang bertakwa, dan itulah tujuan kita diperintahkan berpuasa oleh Allah Ta`ala, sebagaimana yang baru kita selesaikan.
Tujuan ini, Insya Allah, tidak mustahil dapat dicapai oleh siapa saja asal dalam berpuasa seseorang berbuka dan bersahur dengan makanan dan minuman yang halal dan tidak berkata kotor atau berbuat jahat. Daari pada berkata kotor lebih baik diam dan dari pada berbuat jahat lebih baik tidak berbuat apa-apa.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yang berbahagia.
Tugas menghambakan diri kepada Al-Khaliq terasa lebih bersifat pribadi. Semen tara manusia itu adalah makhlul social, makhluk yang punya kecenderungan hidup bersa- ma sesame manusia, bermasyarakat. Makanya, pasti ada juga tugas sosial yang diem bankan kepada manusia. Apa itu? Ketika Allah akan menciptakan manusia, Allah berfirman :
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً
“Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi.” Khalifah, arti aslinya adalah pengganti. Jadi manusia dijadikan Allah untuk menjadi “pengganti” Allah di muka bumi. Dan tugas pokok khalifah adalah menebarkan rahmat dan kasih sayang, meratakan keadilan dan menciptakan rasa aman bagi sesaama yang ada. Karena itu, berarti tiap manusia harus berusaha kea rah itu. Dan semua itu, hakikatnya, pada gilirannya akan bermanfaat untuk dirinya sendiri.
Dalam bahasa Imam Abu Ishaq Asy-Syirozi, yang didapatkan langsung dari Rasulullah saw lewat mimpinya dikatakan :
من اراد السلامة فليطلبها فى سلامة غيره
“Barangsiapa menghendaki keselamatan, maka hendaknya ia cari pada keselamatan orang lain.” Dengan kata lain, barangsiapa ingin selamat maka hendaknya ia tidak berbuat yang dapat menyebabkan orang lain merugi atau celaka, tidak selamat. Dapat diteruskan, barangsiapa ingin tegaknya keadilan, maka janganlah ia berbuat tidak adil kepada yang lain. Barangsiapa ingin mendapatkan keamanan maka hendaknya tidak membuat orang lain merasa tidak aman.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yang berbahagia.
Kesimpulannya, `Iedul Fithri mengajak kita kembali menyadari dan berfungsi sebagai makhluk, sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Mari kita coba, kita terapkan pada diri kita masing-masing. Mari.
بارك الله لى ولكم فى القرأن العظيم ونفعنى وإياكم بما فيه من الأيات والذكر الحكيم وتقبل منى ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم أقول قولى هذا وأستغفر الله العظيم لى ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم .


الخطبة الثانية
الله أكبر 3 الله أكبر 3 الله أكبر . الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا.أشهد أن لاإله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله . اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين وسلم تسليما كثيرا .أما بعد. فيا أيها الناس اتقوا الله ولازموا الصلاة على خير خلقه عليه الصلاة والسلام. فقد أمركم الله بذلك إرشادا وتعليما. فقال إن الله وملائكته يصلون على النبى . يا أيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين . وعلى التابعين ومن تبعهم بإحسان الى يوم الدين. وارحمنا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.
اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات إنك على كل شيئ قدير . اللهم أعز الإسلام والمسلمين. وأهلك الكفرة والمبتدعة والرافضة والمشركين . ودمر أعداء الدين . واجعل اللهم ولايتنا فيمن خافك واتقاك. ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار . ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بلإيمان ولا تجعل فى قلوبنا غلا للذين أمنوا ربنا إنك رؤوف الرحيم والحمد لله رب العالمين.