ZAKAT

Zakat Hati , Ini Sangat Penting lho

Definisi zakat
Zakat berasal dari bentukan kata zaka yang berarti 'suci', 'baik', 'berkah', 'tumbuh', dan 'berkembang'. Secara bahasa, zakat artinya “berkembang dan bertambah dalam kebaikan dan kesempurnaan.” Dikatakan, sesuatu itu zakat, jika sesuatu itu berkembang baik menuju kesempurnaan.
Sesuatu bisa berkembang dengan baik apabila keadaan sesuatu itu bersih dari kotoran dan penyakit. Seperti halnya badan kita, hewan dan tumbuhan bisa berkembang dengan baik jika keadaannya baik dan bersih dari kotoran dan segala penyakit. Demikian pula hati manusia bisa berkembang dengan baik dan sempurna manakala hati itu baik serta bersih dari kotoran dan segala penyakit.
 Zakat Hati
Dosa dan kemaksiatan yang dilakukan manusia laksana hama pada tumbuhan. Ibarat pasir pada emas dan perak. Demikian pula penyakit hati seperti hasud, sombong, congkak, merendahkan manusia, bodoh, besar kepala, keras hati menjadi penghambat berkembangnya hati. Bahkan terkadang sampai mematikan hati seperti halnya hama yang menghambat pertumbuhan tanaman dan bahkan mematikannya.
Maka, agar hati itu menjadi baik dan agar hati berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan maka hati itu harus dibersihkan terlebih dahulu dari segala penyakit dan kotorannya. Caranya ialah dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah, menjauhi kemaksiatan dan yang dilarang Allah dan banyak bertaubat kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ(30)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman hendaknya mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kehormatannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (An-Nur: 30)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan di dalam ayat ini bahwa sucinya hati itu terjadi setelah menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, yaitu menundukkan pandangan dari yang diharamkan Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala telah menguji kita dengan memberikan nafsu senang melihat sesuatu yang indah-indah, senang melihat wanita berwajah cantik, tetapi harus diketahui bahwa yang disenangi oleh nafsu itu ada yang diharamkan dan ada yang dihalalkan. Apabila seseorang sanggup menahan nafsunya dari yang diharamkan Allah, maka Allah akan mengganti dengan yang lebih baik seperti sejuknya hati, tenangnya hati, senang dan gembiranya hati.
Dalam hadits disebutkan,
َمْن تَرَكَ شَيْئًا ِللهِ عَوْضُهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهُ (رواه أحمد بسند صحيح)
Barangsiapa meninggalkan sesuatu (yang haram) karena Allah niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.” (HR Ahmad dengan sanad shahih)
Mengingat hati itu selalu terikat dengan sesuatu yang dicintainya, maka ketika hatinya bersih, hanya Allah yang dicintainya maka dia hanya menghamba dan tunduk kepada Allah saja. Sedangkan jika di hati itu sudah bercabang kecintaannya pada selain Allah, maka dia akan tunduk kepada apa yang dia cintai. Perbuatan manusia ikut pada kemauan dan keadaan hatinya.
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ
Apabila dikatakan kepadamu kembalilah maka kembalilah karena ini lebih suci bagi kalian.” (Ath-Thur: 28)
Ayat ini menerangkan orang yang meminta izin atau bertamu tetapi pemilik rumah belum berkenan menerimanya sehingga dia memohon agar sang tamu kembali kemudian tamu ini mengikuti permohonannya maka itu lebih suci bagi yang bertamu.
Jadi supaya hati bisa berkembang dengan baik menuju kebaikan dan kesempurnaan adalah dengan membersihkan terlebih dahulu dari dosa dan maksiat dan membersihkannya dari penyakit-penyakitnya.
Adapun perkara yang dapat menjadikan hati berkembang dan yang dapat menjadikan hati baik, sempurna, dan suci adalah “tauhid,” yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah (لا إله إلاالله)
Tauhid bukan hanya sebagai pengembang hati tetapi juga berfungsi sebagai pembersih hati yaitu membersihkan keyakinan-keyakinan (aqidah) yang batil, membersihkan hati dari keinginan-keinginan yang tidak benar dan tauhid (لا إله إلاالله) merupakan bahan dasar yang menjadikan hati tumbuh dan berkembang dengan baik, yaitu ketika tidak ada lagi di hatinya tuhan-tuhan selain Allah, tidak ada lagi kemauan dan keinginan kecuali karena Allah. Di hatinya hanya ada Allah dan kebenaran yang bisa berbuah menjadi amalan ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah.
Maka dari itu, tidak ada pelajaran yang melebihi ketinggian dan kemuliaan tauhid karena faidahnya yang fundamental karena yang dipelajari adalah Dzat Yang Maha Agung dan Maha Mulia dan aqidah merupakan dasar bangunan Islam setiap muslim yang menjadi penentu kekokohan dan rapuhnya ke-Islaman seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ(6)الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
Celakalah orang-orang musyrik yang mereka itu tidak menunaikan zakat.” (Fush-shilat: 6-7)
Kebanyakan ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata “zakat” di ayat ini adalah “tauhid.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Di samping tauhid, amalan ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah juga berfungsi sebagai pembersih dan mensucikan hati. Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(9)
Sungguh beruntung orang yang mensucikan hatinya.” (Asy-Syams:9)
Juga firman-Nya:
فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى(18)
Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri?” (An –Naazi’at: 18)
Zakkaa pada ayat ini adalah amalan ketaatan kepada Allah. Namun demikian bagi orang yang telah dikaruniai taufiq dan hidayah oleh Allah mampu menjalankan ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah tidak diperbolehkan untuk merasa dan menganggap dirinya sudah bersih dan suci. Allah Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mengganggap dirinya bersih.” (an-Nisa’: 49)
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ
Maka, janganlah kalian mengatakan dirimu suci.” (an-Najm: 32)
Pada hakikatnya hanya Allah yang menjadikan seseorang itu bersih dan suci dan hanya Allah Ta’ala yang mengabarkan kebersihan dan kesucian seseroang.
Allah Ta’ala berfirman:
بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
tetapi Allah yang membersihkan/mensucikan siapa yang Dia kehendaki.” (An-Nisa”49)
Maka manfaat hati yang sudah dizakati (dibersihkan) akan dapat memudahkan seseorang untuk menerima kebenaran, senang dalam menerima hidayah/petunjuk dari Allah. Lapang dada menerima Islam, senang dan gembira dalam menjalankan ketaqwaan kepada-Nya. Sedangkan jika hati kotor maka yang terjadi adalah sebaliknya, yakni sulit menerima kebenaran dan petunjuk, sempit dan sesak dadanya terhadap syariat Islam dan berat untuk menjalankan ketaqwaan kepada Allah.

Perkataan Para Salaf
1. Abu Dujanah berkata, “Tidak ada sebuah amalan yang paling aku yakini bisa memberi manfaat bagiku di akhirat selain dua perkara. Yang pertama, aku tidak pernah berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku. Dan yang kedua, selamatnya hatiku terhadap kaum muslimin.” (Siyar A ‘lam an-Nubala’ I/243).
2. Sufyan bin Dinar berkata, “Aku berkata kepada Abu Bisyr -dan dia termasuk di antara murid-murid Ali bin Abu Thalib-, ‘Beri tahu kepadaku amalan-amalan orang-orang sebelum kita.’ Dia berkata, ‘Mereka sedikit beramal tetapi mendapatkan pahala yang banyak.’ Aku berkata, ‘Mengapa bisa demikian?’ Dia berkata, ‘Karena selamatnya (bersihnya) hati mereka.’” (Az-Zuhud II/600).
3. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Tidak akan bisa mengejar kami orang yang mengejar dengan memperbanyak puasa dan shalat, akan tetapi kami hanya bisa dikejar dengan bermurah hati dan selamatnya hati dan memberi nasehat kepada umat.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam I/225).
4. Ibnul Qayyim berkata, “Jadi, hati adalah ibarat raja bagi anggota tubuh. Anggota tubuh akan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh hati dan akan menerima semua arahan-arahan hati. Anggota tubuh tidaklah akan melaksanakan sesuatu kecuali yang berasal dari tujuan dan keinginan hati. Jadi, hati tersebut merupakan penanggung jawab mutlak terhadap anggota tubuh karena seorang pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Jika demikian adanya, maka upaya memberi perhatian yang besar terhadap hal-hal yang menyehatkan hati dan meluruskannya merupakan upaya yang terpenting, dan memperhatikan penyakit-penyakit hati serta berusaha untuk mengobatinya merupakan ibadah yang paling besar.” (Ighatsah al-Lahfan halaman 5).
Di tempat yang lain beliau berkata, “Jenis hati yang ketiga adalah hati yang sakit, yaitu hati yang hidup namun berpenyakit. Dengan begitu, di dalam hati tersebut terdapat dua unsur, di mana unsur yang pertama terkadang mengalahkan yang kedua dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan hati sendiri akan mengikuti yang menang di antara keduanya.
Di dalam hati tersebut terdapat perasaan cinta dan iman kepada Allah, ikhlas dan bertawakkal hanya kepada-Nya. Semua itu merupakan unsur kehidupan hati. Namun, di dalam hati tersebut juga terdapat perasaan cinta kepada syahwat, lebih mementingkan syahwat dan berupaya untuk memperturutkannya, dan terdapat pula rasa hasad, sombong, ujub, dan ambisi untuk menjadi orang yang paling unggul, serta bertindak semena-mena di muka bumi dengan kekuasaan yang dimiliki. Semua itu merupakan unsur yang akan membuat diri hancur dan binasa.”
Beliau juga berkata, “Karena itu, surga tidak bisa dimasuki oleh orang-orang yang berhati kotor, dan tidak pula bisa dimasuki oleh orang yang di hatinya terdapat noda-noda dari kotoran tersebut. Barangsiapa yang berusaha untuk mensucikan hatinya di dunia, lalu menemui Allah (mati) dalam keadaan bersih dari najis-najis hati, maka dia akan memasuki surga tanpa penghalang. Adapun tentang orang yang belum membersihkan hatinya selama di dunia, maka jika najis hati tersebut najis murni -seperti hatinya orang-orang kafir-, maka dia tidak bisa masuk surga sama sekali. Dan jika najis tersebut sekadar noda-noda yang mengotori hati, maka dia akan memasuki surga tersebut setelah dia disucikan di dalam neraka dari najis-najis tersebut.”
5. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah apabila menghendaki kebaikan pada seseorang, maka dia akan dibuat mengetahui aibnya. Barangsiapa yang mempunyai mata hati yang tajam, maka tidak akan tersembunyi baginya aib-aib dirinya, dan apabila dia telah mengenali aib-aibnya, maka memungkinkan baginya untuk mengobatinya penyakit-penyakit tersebut. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak mengenal aib-aib dirinya sendiri. Mereka bisa melihat kotoran yang ada di mata saudaranya, tetapi tidak bisa melihat anak sapi yang ada di matanya sendiri.”
Di tempat yang lain beliau berkata, “Barangsiapa yang mengenal hatinya, maka dia akan mengenal Rabbnya. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak mengenali dirinya sendiri. Allah-lah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya, dan penghalang tersebut berupa ketidakmampuan seseorang mengenali hatinya dan terhalangnya dirinya dari mengawasi hatinya, padahal mengenali hati dan sifat-sifatnya adalah merupakan pokok agama.”
 Kesimpulannya: zakati Hati dulu biar mudah meraih lailatul qodar